Jumat, 20 Agustus 2010

segenggam rindu buat Uci..

Dear Uci…

Sebelumnya aku minta maaf karena dah nulis surat yang nggak akan pernah nyampe di tangan kamu.

Ci, sekarang jasad kamu dah terlelap di dalam tanah. Nggak bisa kubayangin sedang apa kamu di alam kubur sana. Maafin aku juga yah Ci, belum bisa balas kebaikan kamu selama ini. Juga di saat – saat terakhir, aku nggak ada di samping kamu. Berita kepergianmu saja sudah membuatku begitu terpuruk.

Ci, sebetulnya kamu tuh terlalu berharga untuk pergi sekarang(setidaknya itu pikiran manusia yang punya emosi). Nggak akan pernah ku lihat lagi sosok gadis tegar kayak kamu. Dengan segala beban, keotoriteran bapakmu, penyakit – penyakitmu yang brengsek itu, percintaan yang kayak Romeo – Juliet…. Kamu bisa hadapi semuanya dengan tawa terbahak.

Kadang terpikir, Ci. Katanya Tuhan tidak akan memberi beban melebihi kemampuan umatNya. Tapi takdir terhadapmu kurasa sangat tidak adil (setidaknya itu pikiran manusia yang punya emosi). Sampai akhir hayatmu, kabar yang ku tahu sangat tidak manis. 

Ci, beberapa hari setelah kamu meninggal, aku, parababi, juga teman- teman sekelas kamu mengunjungi kamu. Kamu liat nggak dari bawah sana??
 
 Kita berdoa, bercanda, menangis mengingat kenangan yang dulu pernah kamu ukir di hati kita. Ada yang bilang terimakasih kamu udah ngasih jawaban UAS, ada yang bilang minta maaf udah ngomong kasar sama kamu.


Aku sendiri, mulutku terkatup, tapi air mataku yang berkata- kata. Aku hanya memandangi gundukan tanah merah. Sambil menumpukan tangan pada bambu yang menjadi nisanmu, ku berharap kalau in hanya mimpi belaka, besok kuterbangun kamu masih baik- baik saja.

Di perjalanan menuju peristirahatanmu, kita sempat istirahat di sebuah rumah makan. Kamu pernah bilang kalau kamu benci ayahmu. Beberapa dari kita mengira- ngira apakah kamu senang jika nama ayahmu tertulis di nisanmu?? Dan, terjawab ketika hanya dua bilah bambu 30cm-an yang menjadi nisanmu, tanpa identitas, tanpa namamu binti ayahmu, juga tanpa titimangsa kelahiran dan kematianmu. Kita agak lega, walau setelah 40 hari nanti, nama ayahmu pasti terpampang di situ.


Yang aku sesalkan, Ci. Tak jarang membuatku sesak, kamu pergi di usia 19 tahun. Masih banyak harapan yang belum kamu gapai. Keinginanmu untuk kuliah, rencana kamu ikut audisi Indonesian Idol, mmm.. cita – cita kamu merasakan hangat dinginnya berumah tangga, dan harapan kamu untuk punya motor MIO.. siapa yang akan meneruskan, Ci?? Suaraku tak bagus, aku belum ingin pacaran (apalagi terpikir menikah), dan aku tak suka motor matik..

Aku sadar, kita kenal baru sebentar. Bayangkan, Ci.. kelas 2 SMA kita baru kenal. Salutnya kita langsung akrab. Bareng Aci, Nessi, Dewi, n Oneng kita tergabung dalam “Para Baby” (baca : para babi). Kisah – kisah hidup yang kamu bagi begitu membekas. Kisah miris kamu yang membenci ayahmu, kisah cintamu dengan Purnama yang ditentang ayahmu, juga kisah penyakit maag akut yang kamu derita, tak membuatmu pantang untuk jajan minuman kesukaanmu, Pop Ice, juga batagor mang Ade yang kamu beri sambal segambreng.

Kepergianmu mencurigakan, Ci. Apa kamu nyusul Purnama? Sebegitu cintakah kamu pada dia? Hm, mungkin karena di dunia jalinan kalian ditentang orang tua jadi kalian janjian bertemu di alam kubur sana. Bisa jadi. Hhh.. whatever lah.

Kadang juga terpikir olehku, manusia bukan makhluk abadi. Jadi ya sudahlah. Ada saat dimana aku harus iklaskan Pemilik kamu, mengambil kembali barang titipannya. Mudah – mudahan kuburmu dilapangkan, Iman islammu diterimaNya, diampuni kesalahan – kesalahan kamu, dan diberi surga pada akhirnya.

Bye bye Uci.. Aku pasti bakal nyusul. Tapi entah kapan…….


*Surat ini kutulis setelah dua tahun sahabatku pergi

Tidak ada komentar: