Sebenarnya ini noteku beberapa bulan lalu, tapi dia cuma bersemayam dlam folder di komputerku dan baru ku posting hari ini .. hehe.. bbrapa bulan lalu males blogging uy.
Jumat, 1 Mei 2009
Sepulang menginap di kosan teman, langsung aku menyambar bantal dan menindih kasur yang ada di kamarku. Lelah, walau sebenarnya kemarin sudah beristirahat. Sambil memandangi langit-langit dan memeluk bantal guling, kagetnya saat ku teringat bahwa besok adalah deadline tugas di mata kuliah Reka Bentuk Surat Kabar. Pusing, karena ku lupa instruksi dosen akan tugas itu. Segera kutelpon teman. Sekitar dua jam kami berbincang, meski perbincangan sudah sangat melebar dari persoalan tugas. Hingga akhirnya panggilan ibuku menghentikan perbincangan kami.
"Kruuuk..kruuk..", wah perutku mengirim pesan singkat pada telinga. Telinga dengan segera mengirim sinyal pada otak. Tak lama kemudian seluruh tubuhku keluar dari kamar menuju dapur. Nampak di sana ada tahu, tempe, seikat bayam, dan bumbu dapur lainnya. Sepertinya mereka semua dalam keadaan memohon untuk dimasak.
Nampak dalam khayalanku tahu cibuntu panas, tempe yang digoreng garing dan berasa gurih dicelup pada sambal kecap pedas manis. Air liurku bergolak hampir tumpah.
Kusiapkan pisau, wajan, sudit, dan alat masak lainnya. Tiga siung bawang merah berukuran besar, setengah siung bawang bombay kukupas lalu kuiris tipis. Tak lupa lima buah cabe rawit merah turut kuiris juga. Lalu dua siung bawang putih kukupas, kuhaluskan di dalam cobek, kuberi garam lalu kusiram dengan air yang mengepul alias air panas.
Wajan penuh minyak goreng segera kuletakkan di atas kompor gas. Kunyalakan. Sambil menunggu minyak memanas, kucuci lima buah tahu cibuntu, kemudian kupotong-potong tempe setebal kira-kira satu centimeter, kumasukkan ke dalam cobek berisi air bawang putih yang kental. Setelah minyak panas, kumasukkan tahu dan tempe ke dalamnya. Secepat ku memasukkan mereka, secepat itu pula bunyi riak minyak panas yang mencubiti tahu dan tempe basah sampai di telinga.
Di tungku sebelahnya, kusiapkan wajan kecil kepunyaan adik, kuguyur dengan sedikit minyak yang katanya non-kolesterol. Barangkali dalam kecepatan seperduapuluh ribu detik kecepatan tanganku memutar tuas kompor, api menyala di bawah wajan.
Dirasa panas minyak goreng sudah pas, kumasukkan irisan bawang merah dan bawang bombay ke dalam wajan. Kuaduk hingga mereka berwarna agak cokelat. Menyusul cabe rawit kujatuhkan menimpa bawang-bawang yang mewangi dalam wajan. Kalau soal citarasa, otakku berjalan dngan kecepatan melebihi cheetah berlari. Ku lari ke teras rumah(ku tentunya), memetik bebrapa lembar daun kemangi kampung yang mungil-mungil, lalu kucuci, kuturutkan bersama bawang dan cabe rawit tadi. Lima detik kemudian, nampak mereka yang tercampur dalam wajan kecil sudah matang. Kutuang kecap manis di atas mereka, kuaduk sebentar lalu kupindahkan sambal kecap itu ke atas piring kecil berwarna putih gading.
Beralih ke tungku sebelah. Tahu dan tempe terlihat menari-nari mengikuti nada gelembung kecil minyak mendidih. Setelah nampak garing, kutiriskan mereka bersepuluh. Sempat ku berujar, memanggil nama Tuhan ketika asap beraroma kemangi dan bawang putih merasuki hidung, "Ya Allah, thank's"
Dengan langkah gontai namun pasti, kubawa empat buah piring. Masing-masing piring berisikan nasi, tahu tempe, sambal kecap, dan bayam yang belum sempat kuceritakan. Singkatnya dia direbus, dijadikan lalapan. A la pelayan rumah makan Padang kubariskan empat piring itu di tangan kiri. Kuajak mereka pindah dari meja dapur ke meja di ruang TV. Tak lupa teh botol dalam kulkas ku ajak serta cakram berisi lagu-lagu sunda kusetel.
Serasa di rumah makan Sunda, aku makan diiringi irama-irama khas Parahyangan, menenangkan hati dan membuat nafsu makan semakin besar. Nasi yang kumakan belum habis setengahnya. Begitupun lauknya, tahu tempe terhitung baru habis satu. Saat itu lagu Talaga Remis berakhir. Itu tandanya lagu Galunggung milik Rika Rafika dimulai. Lagu ini termasuk lagu kesukaanku. Walau menurutku liriknya mengisyaratkan suatu kepesimisan, tapi iramanya menciptakan suatu spirit yang aneh dalam hatiku.
Saking senangnya pada lagu tersebut, ketika memasuki bagian reff ,"Layung luhureun Galunggung...kunaon leungit teu pamit..leungit teu pamit.." Refleks bibirku ikut bernyanyi. Sayangnya aku bernyanyi dalam keadaan mulut yang penuh nasi. "Uhuk..Egh."beberapa butir nasi menyelusup ke saluran hidung lewat dua lubang kecil di dinding atas mulutku. "Hm..mmmgf..", ku berusaha mengeluarkannya, namun sial. Beberapa butir nasi yang tidak masuk ke hidung malah menerobos tenggorokan yang sebenarnya belum siap dimasuki benda asing. Alhasil, tersedak dan batuk-batuk tak karuan. Teh botol di atas meja segera kuhabiskan. Tak ada efek. Butiran-butiran nasi dalam tenggorokan serasa menjadi sebuah gumpalan yang menggelitik kerongkongan. Sedangkan butiran-butiran nasi yang ada di hidung menghambat udara yang akan masuk ke paru-paru.
Setelah agak lama menghentak-hentakkan udara dalam hidung dan kerongkongan, akhirnya
nasi-nasi terkutuk (setidaknya buatku) itu mental keluar, berserakan di mana-mana. Melekat pada tahu, tempe, sambal dan bayam di depanku. Bahkan ada yang kembali pada kelompoknya di piring, yaitu nasi yang belum kumakan sama sekali.
Melihat keadaan meja di depanku, aku hanya bisa melongo, terbengong-bengong tak percaya. Hal yang sudah terbayang, terencana, dan dalam proses pembuatannya terhitung mulus kini terlihat menjijikan dengan bintik-bintik putih yang berasal dari kerongkonganku kini melekat di atas tubuh mereka. Kenapa Tuhan? Padahal baru sesaat aku menikmatinya. Dalam keadaan termangu, 4 buah tahu, empat buah tempe, piring kecil tempat sambal kecap, batangan bayam, serta jutaan butir nasi terlihat memunculkan sayap dari punggungnya. Sekitarnya mengeluarkan bias yang terang. Serasa ada iringan irama dari triangle menemani mereka terbang jauh menuju cahaya surga.
Jumat, 1 Mei 2009
Sepulang menginap di kosan teman, langsung aku menyambar bantal dan menindih kasur yang ada di kamarku. Lelah, walau sebenarnya kemarin sudah beristirahat. Sambil memandangi langit-langit dan memeluk bantal guling, kagetnya saat ku teringat bahwa besok adalah deadline tugas di mata kuliah Reka Bentuk Surat Kabar. Pusing, karena ku lupa instruksi dosen akan tugas itu. Segera kutelpon teman. Sekitar dua jam kami berbincang, meski perbincangan sudah sangat melebar dari persoalan tugas. Hingga akhirnya panggilan ibuku menghentikan perbincangan kami.
"Kruuuk..kruuk..", wah perutku mengirim pesan singkat pada telinga. Telinga dengan segera mengirim sinyal pada otak. Tak lama kemudian seluruh tubuhku keluar dari kamar menuju dapur. Nampak di sana ada tahu, tempe, seikat bayam, dan bumbu dapur lainnya. Sepertinya mereka semua dalam keadaan memohon untuk dimasak.
Nampak dalam khayalanku tahu cibuntu panas, tempe yang digoreng garing dan berasa gurih dicelup pada sambal kecap pedas manis. Air liurku bergolak hampir tumpah.
Kusiapkan pisau, wajan, sudit, dan alat masak lainnya. Tiga siung bawang merah berukuran besar, setengah siung bawang bombay kukupas lalu kuiris tipis. Tak lupa lima buah cabe rawit merah turut kuiris juga. Lalu dua siung bawang putih kukupas, kuhaluskan di dalam cobek, kuberi garam lalu kusiram dengan air yang mengepul alias air panas.
Wajan penuh minyak goreng segera kuletakkan di atas kompor gas. Kunyalakan. Sambil menunggu minyak memanas, kucuci lima buah tahu cibuntu, kemudian kupotong-potong tempe setebal kira-kira satu centimeter, kumasukkan ke dalam cobek berisi air bawang putih yang kental. Setelah minyak panas, kumasukkan tahu dan tempe ke dalamnya. Secepat ku memasukkan mereka, secepat itu pula bunyi riak minyak panas yang mencubiti tahu dan tempe basah sampai di telinga.
Di tungku sebelahnya, kusiapkan wajan kecil kepunyaan adik, kuguyur dengan sedikit minyak yang katanya non-kolesterol. Barangkali dalam kecepatan seperduapuluh ribu detik kecepatan tanganku memutar tuas kompor, api menyala di bawah wajan.
Dirasa panas minyak goreng sudah pas, kumasukkan irisan bawang merah dan bawang bombay ke dalam wajan. Kuaduk hingga mereka berwarna agak cokelat. Menyusul cabe rawit kujatuhkan menimpa bawang-bawang yang mewangi dalam wajan. Kalau soal citarasa, otakku berjalan dngan kecepatan melebihi cheetah berlari. Ku lari ke teras rumah(ku tentunya), memetik bebrapa lembar daun kemangi kampung yang mungil-mungil, lalu kucuci, kuturutkan bersama bawang dan cabe rawit tadi. Lima detik kemudian, nampak mereka yang tercampur dalam wajan kecil sudah matang. Kutuang kecap manis di atas mereka, kuaduk sebentar lalu kupindahkan sambal kecap itu ke atas piring kecil berwarna putih gading.
Beralih ke tungku sebelah. Tahu dan tempe terlihat menari-nari mengikuti nada gelembung kecil minyak mendidih. Setelah nampak garing, kutiriskan mereka bersepuluh. Sempat ku berujar, memanggil nama Tuhan ketika asap beraroma kemangi dan bawang putih merasuki hidung, "Ya Allah, thank's"
Dengan langkah gontai namun pasti, kubawa empat buah piring. Masing-masing piring berisikan nasi, tahu tempe, sambal kecap, dan bayam yang belum sempat kuceritakan. Singkatnya dia direbus, dijadikan lalapan. A la pelayan rumah makan Padang kubariskan empat piring itu di tangan kiri. Kuajak mereka pindah dari meja dapur ke meja di ruang TV. Tak lupa teh botol dalam kulkas ku ajak serta cakram berisi lagu-lagu sunda kusetel.
Serasa di rumah makan Sunda, aku makan diiringi irama-irama khas Parahyangan, menenangkan hati dan membuat nafsu makan semakin besar. Nasi yang kumakan belum habis setengahnya. Begitupun lauknya, tahu tempe terhitung baru habis satu. Saat itu lagu Talaga Remis berakhir. Itu tandanya lagu Galunggung milik Rika Rafika dimulai. Lagu ini termasuk lagu kesukaanku. Walau menurutku liriknya mengisyaratkan suatu kepesimisan, tapi iramanya menciptakan suatu spirit yang aneh dalam hatiku.
Saking senangnya pada lagu tersebut, ketika memasuki bagian reff ,"Layung luhureun Galunggung...kunaon leungit teu pamit..leungit teu pamit.." Refleks bibirku ikut bernyanyi. Sayangnya aku bernyanyi dalam keadaan mulut yang penuh nasi. "Uhuk..Egh."beberapa butir nasi menyelusup ke saluran hidung lewat dua lubang kecil di dinding atas mulutku. "Hm..mmmgf..", ku berusaha mengeluarkannya, namun sial. Beberapa butir nasi yang tidak masuk ke hidung malah menerobos tenggorokan yang sebenarnya belum siap dimasuki benda asing. Alhasil, tersedak dan batuk-batuk tak karuan. Teh botol di atas meja segera kuhabiskan. Tak ada efek. Butiran-butiran nasi dalam tenggorokan serasa menjadi sebuah gumpalan yang menggelitik kerongkongan. Sedangkan butiran-butiran nasi yang ada di hidung menghambat udara yang akan masuk ke paru-paru.
Setelah agak lama menghentak-hentakkan udara dalam hidung dan kerongkongan, akhirnya
nasi-nasi terkutuk (setidaknya buatku) itu mental keluar, berserakan di mana-mana. Melekat pada tahu, tempe, sambal dan bayam di depanku. Bahkan ada yang kembali pada kelompoknya di piring, yaitu nasi yang belum kumakan sama sekali.
Melihat keadaan meja di depanku, aku hanya bisa melongo, terbengong-bengong tak percaya. Hal yang sudah terbayang, terencana, dan dalam proses pembuatannya terhitung mulus kini terlihat menjijikan dengan bintik-bintik putih yang berasal dari kerongkonganku kini melekat di atas tubuh mereka. Kenapa Tuhan? Padahal baru sesaat aku menikmatinya. Dalam keadaan termangu, 4 buah tahu, empat buah tempe, piring kecil tempat sambal kecap, batangan bayam, serta jutaan butir nasi terlihat memunculkan sayap dari punggungnya. Sekitarnya mengeluarkan bias yang terang. Serasa ada iringan irama dari triangle menemani mereka terbang jauh menuju cahaya surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar