Cicadas, 04.10.
Pagi itu aku mengantar ibuku ke pasar. Setibanya di sana nampak kumpulan pedagang sayur berbincang, bukan perbincangan hangat, malah dari wajah mereka terlihat raut ketegangan. Mereka ribut membicarakan rekannya yang bernama Pak Udin. Dia disebut-sebut sebagai korban tabrak lari (memang sebelum masuk pasar aku sempat melihat ceceran darah). Dengan gaya sok akrab aku bergabung dengan mereka. Setelah ku tahu peristiwanya, hatiku benar-benar seperti apa yang katanya dialami Manohara..disilet-silet.
Seperti biasa, sebelum datang waktu shalat subuh, pak Udin berangkat dari rumahnya menuju pasar. Pekerjaannya sehari-hari adalah berjualan sayur keliling dengan menggunakan gerobak. Pada umumnya, pedangan sayur yang membawa gerobak selalu berjalan agak ke samping, hampir menyentuh bahu jalan, Pak Udin salah satunya. Mereka sadar, jika berjalan agak ke tengah jalan raya sama saja dengan mengantarkan nyawa, sebab pada jam - jam seperti itu kendaraan seperti sepeda motor, mobil, bahkan bus melaju dengan sangat cepat di jalan yang lengang dan remang-remang.
Namun, kira-kira setengah meter lagi Pak Udin sampai di gerbang pasar tiba-tiba dari arah belakang dia ditabrak dengan sangat keras oleh sebuah mobil yang melaju dengan kencang. Pak Udin dan gerobaknya pun terpental sejauh beberapa meter. Karuan melihat hal itu, si pengemudi malah menancap gas dengan kencang, ia mencoba kabur. Untungnya saja seorang satpam yang ada di sana segera mengejar mobil tersebut dengan sepeda motornya. Akhirnya satpam berhasil menghentikan laju mobil. Alangkah kagetnya ia melihat seseorang di belakang setir, seorang laki-laki yang bukan setengah baya, namun lebih dari itu.
Pak Udin yang mengalami patah tulang dan pendarahan di beberapa bagian tubuhnya segera dilarikan ke Rumah Sakit terdekat. Sementara, mobil yang menabraknya ditahan oleh warga pasar dan si lelaki tua di balik setir mobil itu dipaksa warga pasar untuk bertanggung jawab.
Jalan Pahlawan, 17.20
Sehabis siaran, aku dititipi hati nurani untuk menjemput adikku di sekolahnya. Menuju ke sana aku melewati beberapa perempatan. Di perempatan ke dua, seorang tukang becak melambaikan tnagannya ke kanan hendak berbelok. Otomatis, aku aku yang ada di belakang abang becak berhenti untuk mempersilakannya berbelok. Namun lain halnya dengan pengemudi mobil di belakangku. Ia memang berhenti tapi sambil membunyikan klaksonnya terus menerus seperti tanda kekesalan seraya menyeru si abang becak karena dianggap memacetkan jalan. Aku hanya bisa memandang mobil di belakang dari kaca spion kendaraanku. Sejujurnya, ingin kumaki si bapak yang mengemudikan mobil tersebut. Realita, aku hanya bisa memandang, mendelik sambil berdecak dan geleng-geleng kepala.
Aku melihat ada semangat dalam diri Pak Udin dan abang becak. Semangat untuk meredam rintihan perut-perut yang setiap harinya diisi dengan seadanya, semangat menyekolahkan anak-anaknya, semangat untuk menjalankan kewajibannya sebagai lelaki berkeluarga.
Sayang, dua bapak di belakang setir mobil tak dapat melihat api semangat itu, sehingga berani memadamkannya.
Jika memang kita tidak dapat memberi apa-apa untuk kehidupan orang-orang seperti Pak Udin dan abang becak, mengapa tidak kita biarkan saja mereka berikhtiar dengan tenang? Pelajarilah kembali Toleransi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar